PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Teori merupakan salah satu unsur penting dari setiap pengetahuan ilmiah atau ilmu, termasuk teori pembelajaran. Tanpa
teori pembelajaran tidak akan ada suatu kerangka kerja konseptual yang
digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan pembelajaran. Teori
pembelajaran adalah suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan
sebagai dasar untuk melaksanakan pembelajaran. Dalam
perkembangannya terdapat banyak sekali teori-teori yang berkembang dari
tokoh-tokoh psikologi, salah satunya adalah teori belajar observasional
yang dikembangkan oleh Albert BanduraTe.
Albert
Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social (Social
Learning Teory) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang
menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan evaluasi.
Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif
dari orang dewasa disekitarnya.
Teori
kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert
Bandura menyatakan bahwa proses kognitif sangat penting dalam penentuan
perilaku manusia. Bukti adanya pengaruh proses kognitif ini berasal dari
fakta bahwa kita dapat membayangkan (imagine) diri kita dalam keadaan
emosi apa saja. Sebagian dari perilaku seseorang ditentukan oleh proses
kognitifnya, maka jika proses kognitif tidak akurat dalam merefleksikan
realitas maka akan muncul perilaku yang salah. Bandura juga
mengembangkan model deterministik resipkoral yang terdiri dari tiga
faktor utama yaitu perilaku, kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa
saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan
mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, dan faktor
kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor kognitif mencakup
ekspektasi,keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan.
Menurut
Bandura proses meniru perilaku dan sikap seorang model merupakan salah
satu proses pembelajaran. Melalui proses tersebut akan terjadi interaksi
timbal balik antara kognitif, lingkungan, dan perilaku. Kondisi
lingkungan di sekitar individu akan sangat mempengaruhi proses belajar
seseorang. Misalnya, anak yang tinggal dalam keluarga yang sering
melakukan kekerasan maka ia akan menjadi anak yang kasar dan sulit dalam
mengendalikan emosi atau bahkan mereka tidak akan pernah
mengaplikasikan kekerasan itu dalam lingkungannya karena ia menganggap
bahwa perbuatan itu merugikan dirinya dan juga orang lain.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan-permasalahan yang akan diambil dalam pembahasan ini adalah :
1. Bagaimana perspektif historis dari teori belajar observasional?
2. Bagaimana penjelasan awal tentang teori belajar observasional?
3. Bagaimana penjelasan Bandura tentang teori belajar observasional?
4. Bagaimana konsep teoritis utama tentang teori belajar observasional?
5. Bagaimana penjelasan tentang proses kognitif yang salah?
6. Bagaimana aplikasi praktis dari belajar observasional?
7. Apa pengaruh berita dan media hiburan dalam belajar observasional?
8. Bagaimana penjelasan tentang teori kognitif sosial?
9. Apa pendapat Bandura tentang pendidikan?
10. Bagaimana kontribusi dan kritik dari teori belajar observasional Bandura?
I.3 Tujuan
1. Mengetahui perspektif historis teori belajar observasional
2. Mengetahui penjelasan awal tentang teori belajar observasional
3. Mengetahui penjelasan Bandura tentang teori belajar observasional
4. Mengetahui konsep teoritis utama tentang teori belajar observasional
5. Mengetahui penjelasan tentang proses kognitif yang salah
6. Mengetahui aplikasi praktis dari belajar observasional
7. Mengetahui pengaruh berita dan media hiburan
8. Mengetahui penjelasan tentang teori kognitif sosial
9. Mengetahui pendapat Bandura tentang pendidikan
10. Mengetahui kontribusi dan kritik teori belajar observasional Bandura.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PERSPEKTIF HISTORIS
Albert
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925,di kota kecil Mundare bagian
selatan Alberta, Kanada. Dia sekolah di sekolah dasar dan sekolah
menengah yang sederhana, namun dengan hasil rata-rata yang sangat
memuaskan. Setelah selesai SMA, dia bekerja pada perusahaan penggalian
jalan raya Alaska Highway di Yukon.
Dia
menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of
British of Columbia tahun 1949. Kemudian dia masuk University of Iowa,
tempat di mana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru setelah itu dia
menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori
pembelajaran.
Saat
di Universitas Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang
teoritisi Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi
klinis. Pada saat itu, Bandura ingin menjelaskan gagasan yang dianggap
efektif dalam psikoterapi dan kemudian menguji dan memperbaiki gagasan
itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation
karya Miller dan Dollard (1941). Buku ini amat mempengaruhi dirinya.
Miller dan Dollard menggunakan teori belajar Hullian sebagai basis kerja
mereka. Penjelasan tentang belajar sosial dan imitative Miller dan
Dollard mendominasi literatur psikologi selama lebih dari
dua dekade. Baru pada tahun 1960-an Bandura mulai menulis serangkaian
artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif
dan memperluas topik itu kea apa yang kini dinamakan belajar
observasional, topik yang kini sangat populer.
II.2 PENJELASAN AWAL TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
II.2.1 Penjelasan Thordike dan Watson tentang Belajar Observasional.
Edward L.Thorndike merupakan yang
pertama kali berusaha meneliti belajar observasional secara
eksperimental. Pada 1898, dia meletakkan seekor kucing dalam kotak teka
teki dan kucing lainnya di sangkar yang ada di dekatnya. Kucing di kotak
teka teki itu sudah belajar cara keluar dari kotak, sehingga kucing
kedua hanya perlu mengamati kucing pertama untuk belajar respons
membebaskan diri. Akan tetapi, ketika Thorndike meletakkan kucing kedua
itu di kotak teka teki, kucing itu tidak memberikan respons membebaskan
diri. Kucing kedua itu harus melakukan proses uji coba yang sama dengan
kucing pertama untuk keluar dari kotak teka teki. Thorndike melakukan
percobaan serupa dengan subyek ayam, anjing dan monyet, dengan hasil
yang sama. Thorndike menyimpulkan bahwa, “Dalam eksperimen saya dengan
hewan-hewan, tampaknya tidak ada yang mendukung hipotesis bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk belajar melakukan sesuatu setelah melihat hewan
lain melakukan sesuatu”.
Pada
1908, J.B. Watson mereplikasi riset Thorndike dengan monyet, dia juga
tidak menemukan bukti adanya belajar observasional. Thorndike dan Watson
sama-sama menyimpulkan bahwa belajar hanya berasal dari direct experience (pengalaman langsung) dan bukan dari vicarious experience
(pengalaman tak langsung atau pengganti). Dengan kata lain, mereka
menganggap belajar terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang dengan
lingkungan dan bukan dari hasil pengamatan terhadap interaksi orang
lain.
II.2.2 Penjelasan Miller dan Dollard tentang Belajar Observasional
Seperti
Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard berusaha menentang penjelasan
nativistik tentang belajar observasional. Akan tetapi berbeda dengan
Thorndike dan Watson, Miller dan Dollard tidak menyangkal fakta bahwa
organisme bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain.
Menurut Miller dan Dollard, jika imitative behavior
(perilaku imitatif) diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis perilaku
lainnya. Jadi menurut Miller dan Dollard, belajar imitatif adalah kasus
khusus dari pengkondisian instrumental.
Miller dan Dollard (1941) membagi perilaku imitatif ke dalam tiga kategori:
1. Same behavior (perilaku sama)
Terjadi
ketika dua atau lebih individu merespon situasi yang sama dengan cara
yang sama, misalnya: kebanyakan orang berhenti di lampu merah, bertepuk
tangan saat suatu konser berakhir, dan tertawa saat orang lain tertawa.
2. Copying behavior (perilaku meniru atau menyalin)
Adalah melakukan perilaku sesuai dengan perilaku orang lain, misalnya : ketika instruktur member bimbingan dan tanggapan korektif terhadap siswa kelas seni yang sedang berusaha menggambar.
3. Matched-dependent behavior (perilaku yang tergantung pada kesesuaian)
Seorang
pengamat diperkuat untuk mengulang begitu saja tindakan dari seorang
model, misalnya: seorang anak yang lebih tua belajar lari ke pintu depan
setelah mendengar langkah kaki ayahnya mendekati pintu dan ayah
memperkuat perilaku anak itu dengan permen. Adiknya mengetahui bahwa
jika dia berlari di belakang kakaknya itu, menuju pintu itu, dia juga
akan mendapat permen dari ayahnya. Tidak lama kemudian si adik ini
berlari ke pintu setiap kali dia melihat kakaknya melakukan hal itu.
Pada poin ini perilaku kedua anak itu dipertahankan oleh penguatan,
namun masing-masing anak mengasosiasikan penguatan itu pada petunjuk
yang berbeda. Bagi si kakak, suara langkah ayahnya mendekati pintu
menyebabkan dia lari menyongsongnya, dan respon lari ini diperkuat oleh
permen. Bagi si adik, dia lari ketika melihat kakaknya lari, dan respon
ini juga diperkuat dengan permen.
Menurut
Miller dan Dollard, imitasi itu bisa menjadi kebiasaan. Miller dan
Dollard menyebut tendensi untuk meniru perilaku sebagai generalized imitation
(imitasi atau peniruan yang digeneralisasikan). Menurut Miller dan
Dollard (1941), dalam belajar imitatif peran model adalah memandu respon
pengamat sampai respon yang tepat diberikan atau untuk menunjukkan
kepada pengamat respon mana yang akan diperkuat dalam situasi tertentu.
Menurut Miller dan Dollard, jika respon imitatif tidak diberikan dan
diperkuat, tidak terjadi belajar. Menurut mereka, belajar imitatif
adalah hasil dari observasi, respon nyata, dan penguatan.
II.2.3 Analisis Skinerian Terhadap Belajar Observasional
Penjelasan
Skinnerian terhadap belajar observasional adalah sama dengan penjelasan
Miller dan Dollard. Pertama, perilaku model diamati, kemudian pengamat
meniru respon dari model, dan akhirnya respon yang sama diperkuat.
Setelah belajar terjadi dengan cara ini, ia akan dipertahankan oleh
semacam jadwal penguatan dalam lingkungan natural. Jadi, menurut
analisis operan terhadap belajar observasional, perilaku model bertindak
sebagai stimulus diskriminatif yang menunjukkan tindakan mana yang akan
menghasilkan penguatan. Imitasi, karenanya, tak lain adalah operan
diskriminatif.
II.2.4. Nonmanusia Dapat Belajar dengan Mengamati
Riset
yang lebih baru menunjukkan bahwa analisis Thorndike, Watson, Miller
dan Dollard, serta Skinner adalah tidak lengkap. Studi baru ini
mengejutkan karena data menunjukkan bahwa beberapa organisme bukan
manusia bisa melakukan proses belajar yang kompleks dengan mengamati
spesies lain dan mereka dapat melakukannya tanpa penguatan langsung.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Nicol dan Pope (1993), ayam
pengamat dipasangkan dengan ayam “demonstrator” (pemberi petunjuk).
Setiap pengamat melihat sang demonstrator belajar mematuk dua kunci
operan untuk mendapatkan makanan. Ketika ayam pengamat ini dites dalam
kamar operan, mereka menunjukkan tendensi signifikansi untuk mematuk
kunci yang diperkuat untuk ayam demonstrator. Beberapa ahli lain juga
melakukan riset yang sama tetapi dengan hewan yang berbeda, seperti
Akins dan Zentall (1998) dengan menggunakan burung puyuh, tim periset
Inggris Heyes dan Dawson (1990); Heyes, Dawson, dan Nokes (1992) dengan
menggunakan sekelompok tikus.
Zental
(2003) mengatakan bahwa belajar observasional pada nonmanusia adalah
fenomena yang kompleks yang bukan perilaku refleksi (naluriah) dan bukan
imitasi sederhana. Meskipun belajar observasional belum diamati pada
semua spesies nonmanusia, ini adalah fenomena yang membutuhkan pemikiran
lebih mendalam ketimbang yang pernah dipikirkan oleh teoretisi belajar
lama.
II.3 PENJELASAN BANDURA TENTANG BELAJAR OBSERVASIONAL
Menurut
Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin
juga tidak. Apa yang anda pelajari, kata Bandura, adalah informasi yang
diproses secara kognitif dan bertindak berdasar informasi demi kebaikan
diri sendiri. Jadi belajar observasional lebih kompleks ketimbang
imitasi sederhana, yang biasanya hanya meniru orang lain saja.
Teori
belajar yang paling mirip dengan teori belajar Bandura adalah teori
Tolman. Tolman percaya bahwa belajar adalah proses konstan yang tidak
membutuhkan penguatan dan Bandura juga sama. Dalam teori mereka bersifat
kognitif dan keduanya bukan reinforcement theories. Poin final dari
kesepakatan teori adalah teori motivasi. Menurut Tolman dan Bandura
perbedaan antara belajar dan performa sangat penting.
Observasi Empiris
Dalam
teori Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi,
seperti orang, film, televise, pameran gambar, atau intruksi. Dalam
kasus ini, film itu menunjukkan agresivitas seorang model dewasa. Satu
kelompok anak melihat model yang agresif itu diperkuat. Kelompok kedua
melihat model yang agresif itu dihukum. Kelompok ketiga melihat
konsekuensi netral atas tindakan
agresif si model itu; yakni model tidak diperkuat dan tidak dihukum.
Kemudian, anak-anak dalam ketiga kelompok itu dipertemukan dengan sebuah
boneka besar, dan tingkat agresivitas mereka terhadap boneka itu lalu
diukur. Seperti yang diduga, anak yang melihat model diperkuat setelah
melakukan tindakan agresif cenderung menjadi anak yang paling agresif;
anak yang melihat model dihukum cenderung paling tidak agresif;
sedangkan bagi anak yang melihat konsekuensi netral dari model, tingkat
agresifitasnya berada di antara posisi dua kelompok lain itu. Studi ini
menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh pengalaman tak langsung
atau pengalaman pengganti. Anak dalam kelompok pertama mengamati vicarious reinforcement (penguatan pengganti atau tak langsung) dan ini menambah agresivitas mereka. Anak dalam kelompok kedua melihat vicarious punishment
(hukuman pengganti atau tak langsung) dan ia menghambat agresivitas
mereka. Meskipun anak tidak mengalami langsung pengutan dan hukuman,
namun hal itu memodifikasi perilaku mereka. Ini bertentangan dengan
pendamat Miller dan Dollard bahwa belajar observasional hanya terjadi
perilaku nyata organisme diikuti oleh penguatan.
Fase
kedua studi tersebut didesain untuk menjelaskan perbedaan
belajar-performa. Dalam fase ini, semua anak diberi insentif yang
menarik agar mereproduksi (meniru) perilaku dari si model, dan mereka
semua melakukannya. Dengan kata lain, semua anak telah belajar, respon
agresif model, tetapi mereka melakukannya dengan cara berbeda-beda,
tergantung pada kekuatan mereka sebelumnya telah melihat model itu
diperkuat, dihukum, atau mendapat konsekuensi netral. Kesimpulan tentang
perbedaan belajar dan performa adalah sama. Temuan
utama dari kedua eksperimen itu bahwa penguatan adalah variable
performa, bukan variable belajar. Menurut Bandura, belajar observasional
terjadi sepanjang waktu serta tidak
membutuhkan respon nyata atau penguatan. Bandura percaya bahwa pengamat
harus menyadari kotigensi penguatan itu memberikan efeknya : “karena
belajar melalui konsekuensi respon sebagian besar adalah proses
kognitif, konsekuensi pada umumnya tidak banyak menghasilkan perubahan
dalam perilaku yang kompleks jika tidak ada kesadaran akan apa-apa yang
diperkuat itu”.
Ringkasnya, Bandura berpendapat bahwa tidak ada semua unsur penting untuk analisis operasional
terhadap belajar observasional. Yakni sering kali tidak ada stimulus
diskriminatif, tidak ada respon nyata dan tidak ada penguatan.
II.4 KONSEP TEORETIS UTAMA
Bandura menyebutkan bahwa ada empat proses yang mempengaruhi belajar observasional, dan ringkasannya adalah sebagai berikut.
II.4.1 Proses Atensional
Sebelum
sesuatu dapat dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan.
Bandura menganggap belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi
menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari. Yang
membuat sesuatu itu diperhatikan, yaitu, pertama kapasitas sensoris
seseorang akan memengaruhi attentional process (proses atensional/proses memerhatikan). Jelas stimuli modeling yang
digunakan untuk mengajari orang tunanetra atau tunarungu akan berbeda
dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal penglihatan dan
pendengarannya.
Perhatian
selektif pengamat bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu.
Misalnya, jika aktivitas yang lalu yang dipelajari lewat observasi
terbukti berguna untuk mendapatkan suatu penguatan, maka perilaku yang
sama akan diperlihatkan pada situasi modeling berikutnya.
Dengan kata lain, penguat sebelumnya dapat menciptakan tata-situasi
perseptual dalam diri pengamat yang akan memengaruhi observasi
selanjutnya. Berbagai karakteristik model juga akan memengaruhi sejauh
mana mereka akan diperhatikan. Secara umum, Bandura (1986) mengatakan,
“Orang memperhatikan model yang
dianggap efektif dan mengabaikan model yang penampilan atau reputasinya
tidak bagus … Orang akan lebih memilih model yang lebih mampu dalam
meraih hasil yang bagus ketimbang model yang sering gagal”.
II.4.2 Proses Retensional
Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses
retensional) di mana informasi disimpan secara simbolis melalui dua
caa, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal. Jenis simbolisasi
yang lebih penting menurut Bandura, adalah verbal:
Kebanyakan
proses kognitif yang mengatur perilaku terutama adalah konseptual
ketimbang imajinal. Karena fleksibiltas symbol verbal yang luar biasa,
kerumitan dan kepelikan perilaku bisa ditangkap dengan baik dalam wadah
kata-kata. Misalnya, detail rute yang dilalui seorang model dapat
disimpan dan diingat untuk dipakai lagi nanti secara lebih akurat dengan
mengubah informasi visual ke kode verbal yang mendeskripsikan deretan
kapan mesti belok kiri (L) atau kanan (R) (misalnya RLRRL), ketimbang
dengan mengandalkan pada imajinasi visual dari rute itu. (1986, h. 58)
Meskipun
dimungkinkan untuk mendiskusikan symbol imajinal dan verbal secara
terpisah, keduanya sering tidak bisa dipisahkan saat kejadian
direpresentasikan dalam memori. Walaupun simbol verbal memuat sebagian besar pengetahuan yang diperoleh melalui modeling, sering kali sulit untuk memisahkan mode-mode representasi. Aktivitas representasional biasanya menggunakan kedua sistem
itu sampai tingkat tertentu … kata-kata cenderung membangkitkan citra
yang terkait, dan citra dari suatu kejadian sering kali disadari secara
verbal. Ketika stimuli visual dan verbal memberikan makna yang sama,
orang mengintegrasikan informasi yang disajikan oleh modalitas yang
berbeda ini ke dalam satu representasi konseptual umum. (h. 58)
Setelah
informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi,
dan diperkuat beberapa waktu setelah belajar observasional terjadi.
Menurut Bandura (1977), “Peningkatan kapasitas simbolisasi inilah yang
memampukan manusia untuk mempelajari banyak perilaku melalui observasi”
(h. 25). Symbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayed modeling (modeling yang ditunda)—yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.
II.4.3 Proses Pembentukan Perilaku
Behavioral production process (proses
pembentukan perilaku) menentukan sejauh mana hal-hal yang telah
dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan atau performa. Seseorang
mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tak mampu
menerjemahkan informasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan.
Bandura berpendapat jika seseorang diperlengkap dengan semua apparatus
fisik untuk memberikan respons yang tepat, dibutuhkan satu perioda rehearsal (latihan repetisi) kognitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku model. Menurut Bandura, symbol yang didapat dari modeling akan bertindak sebagai template (cetakan)
sebagai pembanding tindakan. Selama proses latihan ini individu
mengamati perilaku mereka sendiri dan membandingkannya dengan
representasi kognitif dari pengalaman si model. Setiap diskrepansi
antara perilaku seseorang itu dengan perilaku model akan menimbulkan
tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada kesesuaian
yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model. Jadi, retensi
simbolis atas pengalaman modeling akan
menciptakan pingkaran “umpan balik” yang dapat dipakai secara gradual
untuk menyamakan perilaku seseorang dengan perilaku model, dengan
menggunakan observasi diri dan koreksi diri.
II.4.4 Proses Motivasional
Dalam
teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama, ia
menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak
seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka
mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai insentif untuk
menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti telah kita lihat di atas, apa
yang dipelajari melalui observasi akan tersimpan sampai si pengamat itu
punya alas an untuk menggunakan informasi itu. Kedua fungsi penguat itu
adalah fungsi informasional.
Satu fungsi menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika
mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka
mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah dipelajari.
Menurut
Bandura, bukan hanya penguatan itu tidak diperlukan agar belajar
terjadi, tetapi pengalaman langsung juga tak selalu perlu. Seorang
pengamat dapat belajar cukup dengan mengamati konsekuensi dari perilaku
orang lain, menyimpan informasi itu secara simbolis, dan menggunakannya
jika perilaku itu bisa bermanfaat baginya. Jadi, menurut Bandura,
informasi penguatan atau hukuman sama informatifnya dengan penguatan dan
hukuman langsung.
Menurut
Bandura, pembelajar memperoleh informasi lewat pengamatan terhadap
konsekuensi perilakunya sendiri atau perilaku orang lain. Informasi yang
diperoleh lewat observasi ini dapat digunakan dalam berbagai macam
situasi jika ia membutuhkannya. Karena tindakan diri sendiri atau orang
lain yang menghasilkan penguatan atau menghindarkannya dari hukuman
adalah bersifat fungsional, maka tindakan-tindakan itulah yang cenderung
akan diamati dan disimpan dalam memori untuk dipakai di waktu
mendatang. Berbekal informasi yang diperoleh dari pengamatan terdahulu,
seorang individu akan memperkirakan bahwa jika mereka bertindak dengan
cara tertentu dalam situasi tertentu, maka akan muncul konsekuensi
tertentu. Dengan cara ini, perkiraan konsekuensi itu akan, setidaknya
sebagian, menentukan perilaku dalam situasi tertentu. Tetapi, perlu
dicatat bahwa konsekuensi environmental yang diantisipasi ini bukan satu-satunya penentu perilaku. Perilaku sebagian juga dipengaruhi oleh perkiraan reaksi-diri, yang ditentukan oleh standar performa dan tindakan seseorang dan oleh pandangannya tentang kemampuan atau kecakapan dirinya.
II.4.5 Determinisme Resiprokal
Mungkin
pertanyaan paling dasar dalam psikologi adalah, “Mengapa orang
bertindak seperti yang mereka lakukan itu?” jawaban Bandura untuk
pertanyaan ini termasuk dalam ketegori “sesuatu” yang lain. Jawabannya
adalah orang, lingkungan, dan perilaku orang itu semuanya berinteraksi
untuk menghasilkan perilaku selanjutnya. Dengan kata lain, ketiga
komponen itu tidak bisa dipahami secara terpisah-pisah. Bandura
meringkas tiga interkasi itu sebagai berikut :
dimana
P (person) adalah orang, E (environment) adalah lingkungan, dan B
(behavior) adalah perilaku. Posisi ini disebut reciprocal determinism
(determinisme resiprokal). Salah
satu deduksi dari dari konsep ini adalah bahwa kita bisa mengatakan
perilaku mempengaruhi seseorang dan lingkungan, atau lingkungan atau
orang mempengaruhi perilaku.
Ringkasnya, konsep determinisme resiprokal
Bandura menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan orang (dan
keyakinannya) semua berinteraksi dan interaksi ketiganya itu harus
dipahami dahulu sebelum kita bisa memahami fungsi psikologis dan
perilaku manusia.
II.4.6 Regulasi-Diri Perilaku
Perilaku
manusia sebagian besar adalah self-regulated behavior (perilaku yang
diatur sendiri). Di antara hal-hal yang dipelajari manusia dari
pengalaman langsung atau tidak langsung adalah performance standards
(standar performa), dan stelah standar ini dipelajari, standar itu
menjadi basis bagi evaluasi diri. Jika performa atau tindakan seseorang
dala, situasi tertentu memenuhi atau melebihi standar, maka ia akan
dinilai positif, jika sebaliknya ia dinilai negatif. Standar performa
yang diinternalisasikan, perceived self-efficacy (anggapan tentang
kecakapan diri) berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri.
Maksud dari anggapan mengenai kecakapan diri ini adalah keyakinan
seseorang tentang kemampuannya dalam melakukan sesuatu, dan ini muncul
dari berbagai macam sumber termasuk prestasi dan kegagalan personal yang
pernah dialaminya, melihat orang yang sukses atau gagal, dan persuasi
verbal. Kecakapan diri seseorang mungkin berhubungan atau mungkin tidak
berhubungan dengan real self efficacy (kecakapan diri yang
sesungguhnya). Orang mungkin percaya bahwa kecakapan diri mereka rendah
padahal sebenarnya cukup tinggi, dan sebaliknya. Situasi terbaik adalah
ketika anggapan seseorang itu sesuai dengan kemampuan sesungguhnya.
II.4.7 Tindakan Moral
a) Justifikasi moral
Tindakan
yang tercela itu menjadi cara untuk mencapai tujuan yang lebih luhur
dan karenanya dibenarkan. Contohnya seperti : saya mencuri untuk memberi
makan keluarga.
b) Pelabelan eufemistis
Menyebut
tindakan tercela sebagai sesuatu yang lain sehingga dapat melakukannya
tanpa rasa bersalah. Contohnya adalah ketika tentara sewaktu berperang,
dia di bentuk pikirannya kalau membunuh bukan lah sebuah hal yang kejam,
melainkan suatu kewajiban yang harus dilakukannya sebagai warga negara.
Dan juga dengan begitu maka membunuh akan dianggap sebuah pekerjaan
yang mulia.
c) Perbandingan yang Menguntungkan
Membandingkan
tindakannya dengan tindakan orang lain yang lebih bengis, sehingga
tindakan tercelanya tampak lebih baik. Dalam artian seperti, ‘’ jelas
saya melakukannya, tetapi orang itu jauh lebih buruk.’’
d) Pengalihan Tanggung Jawab
Beberapa
orang dapat melanggar prinsip moral mereka jika mereka merasa di
perintah oleh otoritas dan karenanya merupakan tanggung awab yang
memberi perintah. Contohnya : para prajurit nazi yang membunuh jutaan
orang. Ketika diminta pertanggung jawaban, mereka menjawab kalau mereka
hanya diperintah.
e) Difusi Tanggung Jawab
Ketika
banyak orang yang bertanggung jawab, yakni ketika ada penyebaran
tanggung jawab, maka individu tidak akan merasa bertanggung jawab.
f) Pengabaian atau Distorsi Konsekuensi
Orang mengabaikan akibat dari perbuatan yang mereka lakukan, sehingga mereka tidak perlu merasa bersalah.
g) Dehumanisasi
Ketika beberapa individu dianggap manusia rendahan, maka mereka bisa saja diperlakukan secara tidak manusiawi tanpa perlu merasa bersalah.
h) Atribusi Kesalahan
Seseorang
selalu dapat menyebut sesuatu yang dikatakan atau dilakukan korban
sebagai alasan untuk bertindak keras atau tercela. Contohnya seorang
pemerkosa, menyalahkan korbannya juga bertanggung jawab atas pemerkosaan
itu, karena dia memakai pakaian seksi sehingga mengundang orang ntuk
melakukan pemerkosaan.
II.4.8 Determinisme versus kebebasan (Determinism versus Freedom)
Karena
manusia bisa mengatur perilakunya sendiri, bukan berarti dia bisa bebas
melakukan apa saja sekehendak hatinya. Bandura mendefinisikan kebebasan
(freedom) sebagai sejumlah pilihan yang tersedia dan kesempatan untuk melakukannya (Hergenhahn dan Olson, 1997).
Menurut Bandura, pembatas kebebasan personal antara lain adalah :
1. Inkompetensi (Incompetence)
Pada inkompetensi, orang tidak mampu untuk memanfaatkan kesempatan dan pilihan-pilihan yang ada di lingkungan.
2. Ketakutan akan ketidakterjaminan (Unwarranted Fears)
Adanya
ketakutan bahwa pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan tidak
menjamin keuntungan bagi diri membuat pilihan bebas seseorang terganggu.
3. Kepastian diri yang berlebihan (Excessive Self-Ensure)
Rasa
kepercayaan diri yang berlebihan mengakibatkan seseorang untuk
mengambil pilihan atau kesempatan yang terlalu tinggi, yang tidak sesuai
dengan kondisi aktual dirinya, dan pada akhirnya, dia sendiri tidak
mampu untuk menjalankannya.
4. Penghambat Sosial, berupa prasangka dan diskriminasi (Social Inhibitors - prejudice, discrimination)
Prasangka dan diskriminasi dari masyarakat membuat pilihan bebas seseorang terbatas.
Jadi,
dalam lingkungan fisik yang sama beberapa individu lebih bebas
ketimbang individu lainnya. Penghambat kebebasan lainnya adalah proses
kognitif yang salah, yang menyebabkan orang tidak berinteraksi secara
efektif dengan lingkungannya.
II.5 PROSES KOGNITIF YANG SALAH (Faulty Cognitive Processes)
Sebagaimana manusia telah belajar tentang kode moral, self-efficacy,
dan mampu mengatur perilakunya sendiri, bisa dikatakan bahwa perilaku
manusia semuanya melibatkan proses kognitif. Seseorang bisa membayangkan
berbagai hal dalam pikiran (imagine) dan bisa mempengaruhi perilaku. Sayangnya, proses kognitif yang salah (faulty cognitive processes) dapat menghambat perilaku atau bahkan bisa memunculkan perilaku yang salah.
Sebab-sebab munculnya pemrosesan kognitif yang salah :
1. Anak mengevaluasi berdasarkan penampilan
Anak-anak
cenderung untuk melihat dari penampilan. Pada perkembangannya, melihat
berdasarkan penampilan ini bisa memunculkan perilaku yang salah.
Misalnya ketika seseorang melihat pria yang kekar, berwajah sangar, dan
bertato, orang tersebut bisa saja berperilaku waspada atau menjauhi,
atau bahkan takut, karena berdasarkan penampilannya, pria tadi tampak seperti preman.
2. Pemikiran keliru karena salah informasi dan bukti yang tidak mencukupi
Seseorang
terkadang berperilaku salah karena dia salah mempersepsi suatu hal,
bisa disebabkan oleh informasi yang salah ataupun bukti terhadap suatu
hal yang tidak cukup. Contohnya, kita mendengar gosip bahwa teman
sekelas kita adalah seorang pencuri, kita akan menjauhi teman tersebut,
membencinya, atau bahkan mencurigainya (informasi yang salah). Gosip
tersebut juga beredar karena bukti belum cukup, tapi orang sudah
berperilaku mencurigai duluan.
3. Pemrosesan informasi yang keliru
Seseorang
terkadang percaya orang lain begini atau begitu, dan itu mempengaruhi
persepsinya terhadap orang lain. Misalnya, seseorang percaya bahwa
petani itu bodoh, maka orang tersebut akan menyimpulkan bahwa setiap
petani yang dia temui adalah bodoh.
II.6 APLIKASI PRAKTIS DARI BELAJAR OBSERVASIONAL
II.6.1 Yang Didapat dari Modeling
Modeling
memberi beberapa efek bagi pengamat. Respons baru mungkin muncul
setelah menyaksikan seorang model diperkuat setelah melakukan tindakan
tertentu. Jadi aquisition (akuisisi) perilaku berasal dari
penguatan tak langsung. Sebuah respon mungkin tak muncul ketika melihat
seorang model dihukum karena memberikan respon tersebut. Dengan
demikian, hasil yang terhalangi tersebut merupakan akibat
daripada hukuman tersebut. Reduksi rasa takut yang berasal dari
pengamatan atas tindakan model dalam aktivitas yang ditakuti itu
dinamakan disinhibition (disinhibisi). Model meningkatkann kemungkinan si pengamat akan melakukan respon yang sama. Ini dinamakn facilitation (fasilitasi). Modeling juga dapat menstimulasi ctreativity (kreativitas)
dengan cara menunjukan kepada pengamat beberapa model yang menyebabkan
pengamat mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.
Penggunaan
modeling untuk menyampaikan informasi telah dikritik karena umumnya
memicu tindakan imitasi belaka, kecuali untuk beberapa orang yang memang
kreatif. Namun kritik ini disanggah melalui bukti dari konsep abstract
modeling (modeling abstrak), dimana orang mengamati model yang melakukan
berbagai macam respon yang memilki kaidah atau prinsip umum. Jadi
modeling abstrak mengandung tiga komponen : (1) Mengamati berbagai macam
situasi yang memilki kaidah atau prinsip sama. (2) mengambil inti sari
kaidah atau prinsip dari berbagai pengalaman yang berbeda. (3)
menggunakan kaidah atau prinsip itu dalam situai yang baru dan berbeda.
II.6.2 Modeling Dalam Setting Klinis
Menurut
Bandura, psikopatologi berasal dari belajar disfungsional, yang
menyebabkan antisipasi yang keliru terhadap dunia. Tugas psikoterapi
adalah memberi pengalaman yang akan menyangkal ekspetasi yang salah itu
dan menggantinya dengan ekspetasi yang benar.
Bandura dan rekan-rekannya melakukan sejumlah studi untuk menguji ekfektivitas modeling
dalam mengatasi beberapa gangguan psikologis. Misalnya, Bandura,
Grusec, dan Menlove (1967) menunjukkan kepada anak yang sangat takut
pada anjing bagaimana seorang anak lain berinteraksi tanpa rasa takut
dengan anjing kemudian tali ikatan anjing itu dikendurkan
secara bertahap dan interaksi langusng antara model dengan si anjing
dibuat bervariasi. Satu kelompok control yang terdiri dari anak yang
juga fobia anjing tidak diberi pengalaman modeling. kemudian perilaku
semua anak itu dalam berhubungan anjing dalam eksperimen dan dengan
anjing lain yang asing. Pengukuran dilakukan segera sesudah pengalaman
itu dan juga setelah sebulan kemudian. Skor ditentukan dengan memberi
nilai pada urutan interaksi dengan anjing ; yakni, anak diminta
mendekati anjing dan memegangnya, lalu di minta mengeluarkan anjing dari
kandang, melepas tali lehernya, dan akhirnya bermain bersama anjing itu
dikandangnya.
Dapat
dilihat dari study ini bahwa bukan ghanya respons baru dapat di
pelajari dengan mengamati konsekuensi dari model, tetapi juga respons
dapat dilenyapkan dengan cara serupa. Jadi Vicaraous extinction (pelenyapan
tak langsung) sama pentingnya dengan penguatan tak langfsung dalam
teori bandura. Dalam studi ini, pelenmyapan secara tak lansung dipakai
untuk mereduksi atau menghilangkan ketakukatan pada amjing dan karenanya
membantu menguatkan respon mendekati anjing.
Dalam
studi lainnya, Bandura dan Menlove (1968) menggunakan tiga kelompok
anak yang fobia anjing. Mereka di suruh menonton film dalam tiga kondisi
yang berbeda: single modeling (modeling tunggal), dimana anak melihat
seorang model berinteraksi dengan seokor anjing dengan tingkat keintiman
semakin kuat; multiple modeling (modeling banyak), dimana anak melihat
berbagai macam model berinteraksi dengan sejumlah anjing tanpa rasa
takut ; dan ketiga adalah kondisi control, dimana anak melihat film yang
tidak menampilkan anjing sama sekali. Dengan membandingkan study ini
dengan study pada 1967, Bandura menyimpulkan bahwa meskipun direct modeling (modeling langsung) (melihat model secara langsung) maupun symbolic modeling
(modeling simbolis ) (melihat model dalam film) cukup efektif untuk
mengurangi rasa takut, namun tampaknya modeling langsung adalah yang
lebih efektif.
Dalam study terakhir yang akan di bahas di sini,
Bandura, Blanchard, dan Ritter (1969) membandingkan efektifitas
modeling simbolis, modeling dengan partisipasi, dan desentisasi sebagai
teknik untuk mengatasi fobia. Dalam studi ini, orang dewasa dan remaja
yang takut ular dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok 1 (modeling
simbolis) diperlihatkan sebuah film yang menunjukkan anak, remaja dan
orang tua yang berinteraksi dengan seokor ular bessr. Adegannya
menunjukkan peningkatan keakraban secara bertahap antara model dengan
ular. Subyek dalam kelompok ini diberikan teknik relaksasi dan dapat
menghentikan film kapan saja mereka merasa sangat takut. Kelompok 2 (
modeling participation / partisipasi modeling) menonton
seorang model memegang seokor ular dan kemnudian mereka di bantu oleh
si model untuk menyentuh ular. Kelompok 3 menerima desentization therapy
(terapi desentisasi), yakni meminta subyek untuk membayangkan adegan
yang menakutkannsaat bersama ular, dengan memulai membayangkan adegan
yang tidak terlalu menimbulkan kecemasan dan pelan – pelan sampai ke
yang menyebabkan rasa takut luar biasa. Kelompok 4 tidak menerima
therapy apapun. Hasil menunjukkan bahwa ketiga kondisi perawatan itu
efektif dalam mereduksi fobia ular, tetapi metode modeling dengan
partisipasi adalah yang paling efektif.
II.7 PENGARUH BERITA DAN MEDIA HIBURAN
Bandura
menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dari pengalaman tak langsung
atau pengalaman pengganti dan belajar dengan mengamati konsekuensi dari
perilakunya sendiri. Bandura mendefenisikan model sebagai segala sesuatu
yang menyampaikan informasi. Jadi koran, majalah, televisi, dan
sebagainya merupakan model. Dan tentu saja berita dan hiburan yang
disampaikan dapat membawa pengaruh positif maupun dapat memunculkan
proses kognitif yang salah pada individu.
Bandura
menyatakan bahwa anak-anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi
tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui televisi modeling dan
film. Bandura memberi contoh bagaimana tayangan di televisi dapat memicu
perilaku antisosial, misalnya terjadinya pemerasan dengan strategi yang
sama dengan yang ada dalam sebuah film yang baru saja ditayangkan.
Bandura menolak kejadian itu hanya kebetulan belaka. Secara umum,
Bandura menarik kesimpulan tentang acara di televisi bahwa tindakan
kekerasan digambarkan sebagai tindak yang diperbolehkan, sukses, dan
relatif tidak kotor. Melihat kekerasan yang disajikan secara dramatis
akan menyebabkan orang makin terbiasa dan bahkan mendukung kekerasan
daripada mencari solusi alternatif. Namun yang juga perlu diketahui,
tidak semua orang yang menonton kekerasan di televisi akan melakukan
aksi kekerasan. Dan juga tidak ada orang yang menonton tayangan yang
eksplisit secara seksual akan menjadi orang yang kecanduan seks. Materi
erotis telah dipakai untuk mengatasi individu yang mengalami gangguan
seksual.
II.8 TEORI KOGNITIF SOSIAL
Meskipun
teori Bandura bersifat kognitif tetapi lebih komprehensif. Bandura juga
berkonsentrasi pada perilaku sosial. Dan untuk membedakan teorinya
dengan teori Tolman atau Dollard dan Miller, Bandura memilih nama social cognitive theory
(teori kognitif sosial). Teori ini mendeskripsikan manusia sebagai
organisme yang dinamis dalam memproses informasi dan sebagai organisme
sosial. Kebanyakan dari proses belajar kita melibatkan orang lain dalam setting
sosial dan berdasarkan observasi dan interaksi dengan orang lain inilah
kognisi kita terus berkembang. Riset Bandura biasanya merefleksikan
situasi dan problem kehidupan nyata dan subjeknya adalah manusia yang
berinteraksi dengan manusia lain. Menurut Bandura, kemampuan manusia
untuk membuat simbol membuat mereka bisa merepresentasikan kejadian,
menganalisis pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang
dipisahkan oleh jarak dan waktu, merencanakan, menciptakan,
membayangkan, dan melakukan tindakan yang penuh pertimbangan.
Agen Manusia
Menurut
Bandura, orang bukan hanya sekadar kumpulan mekanisme internal yang
diatur oleh kejadian di lingkungan. Mereka adalah pelaku pengalaman,
tidak hanya sekadar mengalami secara pasif. Sistem indera, motor, dan
otak adalah alat yang dipakai manusia untuk menyelesaikan tugas dan
mencapai tujuan yang memberi makna dan kepuasan bagi kehidupan mereka.
Dari perspektif agen ini banyak hal yang kita pelajari sudah
direncanakan terlebih dahulu dan dipandu oleh skema kognisi yang
mencakup fokus pada tujuan yang mungkin terjadi, dan perilaku koreksi
diri untuk mempertahankan kemajuan ke arah hasil yang diharapkan.
“Ciri utama” dari agen manusia :
1. Intentionality (intensionalitas)
yang didefinisikan sebagai representasi arah tindakan yang akan
dilakukan di masa depan. Dengan kata lain, intensionalitas melibatkan
perencanaan arah tindakan untuk tujuan tertentu. Tetapi, rencana itu
tidak menjamin individu akan bisa menguasai keterampilan itu; ada
kemungkinan hasilnya tidak sesuai rencana.
2. Forethought
(pemikiran ke depan) yang didefinisikan sebagai antisipasi atau
perkiraan konsekuensi dari niat kita. Orientasi ke depan ini memandu
perilaku kita ke arah akuisisi hasil positif dan menjauhkan diri dari
hasil negatif, dan karenanya bersifat sebagai motivasi. Bandura
menekankan bahwa representasi kognitif dari tujuan itulah yang akan
memberi motivasi dan pedoman, sebab hasil aktual belum terwujud untuk
saat sekarang. Lebih jauh, representasi kognitif tunduk pada regulasi
diri berdasarkan anggapan kecakapan diri, keyakinan, dan standar moral.
3. Self reactiveness
(kereaktifan diri), yang menghubungkan pikiran dan tindakan. Faktor
kecakapan, keyakinan, dan nilai dalam teori kognitif sosial bertindak
sebagai pemberi pedoman. Dalam kasus kereaktifan diri faktor ini memandu
pelaksanaan perilaku aktual.
4. Self reflectiveness (kereflektifan
diri), kemampuan metakognisi untuk merenungkan arah, konsekuensi, dan
makna dari rencana dan tindakan kita. Bandura percaya bahwa anggapan
tentang kecakapan diri ini adalah faktor terpenting yang menentukan
pilihan tindakan kita, intensitas aktivitas kita, dan kemauan kita untuk
terus bertahan saat menghadapi rasa frustasi yang bisa menimbulkan
kegagalan.
II.9 PENDAPAT BANDURA TENTANG PENDIDIKAN
Bandura
percaya bahwa segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman
langsung juga bisa dipelajari secara tidak langsung melalui observasi.
Bandura juga percaya bahwa model akan sangat efektif apabila dilihat
sebagai seseorang yang memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi
atau kekuasaan. Dan dalam hal ini sebagian besar guru memiliki kriteria
tersebut sehingga dapat menjadi model yang berpengaruh besar. Guru dapat
menjadi model untuk suatu keahlian, strategi pemecahan masalah, kode
moral, standar performa, aturan dan prinsip umum, dan kreativitas. Guru
juga dapat menjadi model tindakan, yang akan diinternalisasi siswa dan
karenanya menjadi standar evaluasi diri. Bandura juga menyatakan bahwa
penguatan intrinsik lebih penting daripada penguatan ekstrinsik.
Penguatan ekstrinsik dianggap justru bisa mereduksi motivasi belajar
siswa.
Proses
belajar observasional diatur oleh empat variabel yang harus
diperhatikan oleh guru. Proses yang pertama yaitu atensional
(perhatian), dimana siswa harus menaruh perhatian terhadap sesuatu yang
menurutnya menarik, popular, kompeten, atau dikagumi, dan proses itu
akan bervariasi seiring dengan pendewasaan dan pengalaman belajar
sebelumnya. Yang kedua yaitu retensi, agar dapat meniru perilaku suatu
model siswa harus mengingat perilaku itu. Pada fase
retensi ini, latihan sangat membantu siswa untuk mengingat elemen-elemen
perilaku yang dikehendaki. Yang ketiga produksi, suatu proses
pembelajaran dengan memberikan latihan-latihan agar membantu siswa
lancer dan ahli dalam menguasai materi pelajaran. Yang terakhir yaitu
motivasi. Suatu cara agar dapat mendorong kinerja dan mempertahankan
tetap dilakukannya keterampilan yang baru diperoleh dengan memberikan
penguatan (bisa berupa nilai dan penghargaan).
Dengan
mengingat bahwa teori belajar observasional memiliki banyak implikasi
edukasional dan untuk dapat menggunakannya secara efektif memerlukan
pertimbangan proses-proses tertentu, film, televisi, ceramah, tape,
demonstrasi, dan display dapat dipakai sebagai model yang efektif untuk
tujuan pendidikan.
II.10 EVALUASI TEORI BANDURA
II.10.I Kontribusi
Menurut
Bandura kita belajar dengan mengamati orang lain dan bahwa belajar
terjadi dengan atau tanpa imitasi dan tanpa penguatan. Setelah
itu interaksi tiga arah yang disajikan dalam gagasannya tentang
determinisme resiprokal, yang isinya bahwa produk dari orang dan
lingkungan dan juga memengaruhi orang dan lingkungan, dan karenanya
menggeser perspektif kita dari fokus pada perilaku dan hubungan dinamis
antara orang, lingkungan dan perilaku.
II.10.2 Kritik
Determinisme resiprokal dianggap kurang sempurna, karena sebenarnya interaksi sistematis bukan soal
baru, serta prinsip ini menolak analisis kausal standar. Maksudnya jika
perilaku menyebabkan perubahan pada orang, sementara orang itu
menyebabkan perubahan dalam perilaku, sementara lingkungan menyebabkan
perubahan dalam perilaku dan orang, dst, maka tugas menemukan apa
penyebab sesungguhnya menjadi mustahil. Serta teori Bandura terlalu
banyak membahas hal – hal yang kurang positif.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Teori
Belajar Sosial, Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli
psikologi pendidikan dari Stanford University,USA. Teori pembelajaran
ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami
pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya.
Bandura
(1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian –
kejadian internal pada pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi
merupakan hubungan yang saling berpengaruh.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Belajar
merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat
antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi
proses-proses kognitif belajar.
2. Komponen-komponen
belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap
model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4. Dalam
perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping
pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu
ditumbuhkan “sense of efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5. Dalam
proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup
untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement”
dan hindari punishment yang tidak perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R. Olson, H. Matthew.2010.Theories of Learning (Teori Belajar).Jakarta: Kencana Perdana Media Group
No comments:
Post a Comment